Skip to content
Home » Blog » Pemanfaatan Naskah Kuno Bagi Pengajaran dan Penulisan Sejarah

Pemanfaatan Naskah Kuno Bagi Pengajaran dan Penulisan Sejarah

Pengajaran sejarah di Indonesia yang menggunakan sumber-sumber (tertulis) yang tergolong langka, masih belum berkembang, terutama yang dilakukan oleh para pengajar Indonesia. Hal itu disebabkan antara lain oleh sifat langka yang melekat pada sumber pengajaran itu sendiri. Di sini, kelangkaan itu dipahami bukan saja jarang atau sukar diperoleh, tetapi juga unik, bahkan eksekutif. Jadi, sumber langka adalah sumber yang unik sekaligus sukar diperoleh koleksinya, dengan kata lain pada sumber langka. Juga menjadi jelas bahwa jangkauan peredaran sumber langka bersifat terbatas karena umumnya tidak digandakan secara masih melalui mesin cetak atau pun media transmisi lainnya.

Selain itu biasanya meskipun tidak selalu sumber langka menyangkut kurun masa yang sangat “tua” sehingga terentang jarak waktu yang jauh dengan masa hidup pengajarnya. Segera dapat diidentifikasi bahwa yang tergolong sumber langka adalah naskah-naskah kuno atau manuskrip yang ditulis tangan. Banyak ditemukan naskah-naskah itu berasosiasi dengan “masa klasik” kerajaan tempo dulu. Dalam khazanah (ilmu) sejarah, penggolongan sumber langka diperluas dengan memasukkan kronikel, catatan harian, dokumen keluarga, memoar, naskah kuno/dokumen resmi; juga sumber-sumber tidak tertulis seperti cuostoms, folklor, bahkan mishmash sihir dan mitos.

Tidak terbantahkan pula bila pengajaran sejarah yang bersandar pada sumber-sumber langka membawa tantangan tersendiri bagi pengajarnya. Dalam tulisan ini mencoba membahas sumber langka dan/atau kelangkaan sumber sebagai aspek masalah historiografis, khususnya dalam pengajaran sejarah. Pertanyaan pokoknya ialah apa implikasi sumber langka dan/atau kelangkaan sumber bagi pengajaran sejarah. Beberapa karya pengajaran yang disebut dalam tulisan ini sekadar sebagai ilustrasi pendukung untuk memeroleh gambaran situasinya secara lebih jelas.

Pada awal perkembangannya, penelitian dan pengajaran sejarah boleh dikata tidak bersifat ilmiah. Cara kerja para penulis sejarah masih terbatas pada usaha menemukan sumber sejarah berupa buku-buku kuno atau pun surat-surat resmi dan berbagai laporan. Dokumen-dokumen itu dibaca oleh pengajarnya untuk kemudian dikutip bagian-bagian yang sesuai dengan tema sejarah yang akan ditulis. Tidak ada usaha mengkaji sumber-sumber sejarah itu; temanya pun biasanya terbatas mengenai riwayat hidup orang-orang penting, kejayaan dan kejatuhan kerajaan, peperangan dan diplomasi antar kerajaan. Singkat kata, tema umum pengajaran sejarah pada masa-masa itu cenderung pada aspek politik dan militer.

Perubahan dalam cara-cara penulisan sejarah terjadi mulai abad ke-17. Suasana budaya yang berciri perkembangan ilmu pengetahuan alam serta sikap intelektual yang kritis muncul di kalangan penulis sejarah. Seorang sarjana Prancis, Jean Mabillon (1632-1707), dipandang sebagai peletak dasar ilmu sejarah yang disebut diplomatika, sesuai judul buku yang ditulisnya, De re Diplomatica (1681). Para sejarawan mulai menemukan berbagai cara untuk mengkaji dokumen atau sumber sejarah secara kritis sehingga dapat menghasilkan pengajaran sejarah yang mendekati kebenaran. Selain itu, sejarawan Leopold von Ranke (1795-1815), memperkenalkan prinsip seleksi kritis atas data sejarah untuk menetapkan fakta berdasarkan pedoman wie es eigentlich gewesen, sejarah sebagaimana sesungguhnya terjadi (Barnes, 1963).

Pengajaran sejarah yang bersandar pada sumber-sumber langka akan membawa tantangan tersendiri bagi pengajarnya. Letak persoalannya ialah pada kenyataan bahwa kondisi fisik sumber-sumber tua tersebut umumnya sudah rapuh sehingga rawan untuk disentuh. Upaya memindahkan ke dalam bentuk lain (seluloida, disk) dapat membantu mengatasi kerentanan tetapi mungkin pula akan menimbulkan masalah baru, seperti ketergantungan pada alat baca, gagap teknologi, dan sebagainya. Setelah itu, kesulitan yang “sesungguhnya” akan muncul berkaitan dengan isi atau substansi, aksara dan bahasa yang mungkin tidak dikuasai sepenuhnya oleh pengajar. Persoalan bertambah rumit bila koleksi sumber langka tersebut tersimpan di tempat “tersembunyi” atau jauh dari domisili pengajar.

Karena itu,  dalam sumber-sumber langka tersimpan berbagai keterangan masa lampau yang melimpah. Artinya, sumber yang langka tidak identik dengan kelangkaan kandungan informasi yang diperlukan dalam pengajaran sejarah. Pengajar awal sejarah Jawa, H.J. de Graaf misalnya, membuktikan bahwa “hanya” dengan mempelajari sumber-sumber tradisional seperti babad (tentu saja ditambah sumber-sumber lain), ia berhasil menampilkan aspek-aspek sejarah Jawa secara rinci. Sebagai orang Belanda, ia berguru kepada filolog Jawa R.M. Ngabehi Poerbatjaraka untuk “menaklukkan” berbagai kesulitan dalam menghadapi sumber-sumber tradisional, terutama dari segi bahasanya. Hasilnya, antara lain sejarah Mataram yang lengkap–dari muncul, berkembang, sampai runtuhnya kerajaan itu.

Menurut sejarawan M.C. Ricklefs, yang pernah menjadi murid de Graaf, arti penting karya-karya gurunya itu terletak pada kepeloporannya untuk menyusun suatu dasar kisah sejarah serta menyediakan rujukan sumber-sumber bagi yang akan mengikuti jejaknya. Di kemudian hari, Ricklefs sendiri menunjukkan keandalannya untuk melanjutkan upaya de Graaf dalam menyusun rekonstruksi sejarah Jawa berdasarkan sumber-sumber yang tergolong langka. Tiga karya utamanya (Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-92 (1974), War, Culture and Economy in Java 1677-1726 (1993), dan The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749 (1998) merupakan trilogi yang komprehensif untuk melihat perkembangan sejarah Jawa, khususnya di seputar lingkaran keraton, kurun abad ke17-18.

Dalam studinya itu, Ricklefs mendemonstrasikan kepiawaiannya mengolah dan menganalisis sumber-sumber lokal secara intensif di samping jenis sumber-sumber lain tentunya. Agak berbeda dengan de Graaf yang lebih menekankan kajiannya pada aras elite dengan konsentrasi pada aspek politik dan militer, maka perhatian Ricklefs meluas pada aspek-aspek lainnya. Secara ringkas, studi Ricklefs melukiskan dinamika masyarakat Jawa sekitar keraton dan interaksinya dengan kekuatan asing (Barat) yang muncul kemudian. Interelasinya mencakup perang atau militer dan politik, ekonomi, budaya, sastra, serta agama. Aspek agama (Islam) bahkan ditunjukkan sebagai upaya orang Jawa untuk menemukan identitasnya di tengah himpitan kekuasaan asing yakni VOC. Jejak Ricklefs diikuti oleh sarjana asing lainnya yang juga menggunakan sumber-sumber langka secara intensif dalam studinya, seperti Peter Carey, Ann Kumar, Vincent Houben, dan masih banyak lagi. Perhatian terhadap sejarah lama luar Jawa juga ditunjukkan antara lain oleh Denys Lombard Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636 (1986), dan Leonard Andaya (The Heritage of Arung Palaka (1981). Beberapa contoh kajian tersebut diambil secara acak dan masih dapat diperpanjang dengan memasukkan hasil-hasil karya sarjana non-sejarah seperti filolog dan sastra–misalnya Henri Chambert-Loir yang menyusun Kerajaan Bima (2004). Informasi tentang sumber langka juga diperkaya oleh jasa penyusun katalogus naskah-naskah kuno dan pengumpul dokumen naskah kuno.

Hamid Hasan. 1985. Pengajaran sejarah antara Harapan dan Kenyataan. Makalah. Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta.

Hopkins, David. 1993. A Teacher’s Guide to Classroom Research. Bristol: Open University Press.

Kasihani Kasbolah. 2001. Penelitian Tindakan Kelas, Malang: Universitas Negeri Malang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *