Skip to content
Home » Blog » Mengenal Willem Iskandar Dan Kontribusinya Dalam Dunia Pendidikan Indonesia

Mengenal Willem Iskandar Dan Kontribusinya Dalam Dunia Pendidikan Indonesia

Willem Iskander adalah seorang guru dari Mandailing Natal, Sumatera Utara, Indonesia. Lahir dengan nama Sati Nasution dan diberi nama Sutan Iskandar di Pidoli Lombang, Sumatera Utara, pada Maret 1840, dan meninggal di Amsterdam, Belanda, pada 8 Mei 1876, pada usia 36 tahun. Sepulang dari sekolah di Belanda, Willem mendirikan sekolah guru. Ia adalah penyair bahasa yang berbicara tentang pendidikan dan cinta kampung halaman.

Lahir di Pidoli, Mandailing Natal. Dia diberi nama Sati Nasution dan diberi gelar Sutan Iskandar, seperti yang tercantum dalam akta kelahiran (acte van bakenheld), surat, belsit, piagam, dan surat nikah. Dia juga diberi nama Willem Iskander (dinamai setelah dibaptis di Arnhem, 1858). Dia adalah keturunan kesebelas dari marga Nasution. Dia adalah satu-satunya dari empat bersaudaranya.

Tahun 1853, dia memulai pendidikannya di Sekolah Rendah (Inlandsche Schoolan) di Kota Panyabungan, Mandailing Natal. Ia pergi ke Belanda bersama Asisten Residen Mandailing-Angkola Alexander Philippus Godon pada bulan Februari 1857 untuk melanjutkan pendidikannya. Supaya bisa melanjutkan ke sekolah guru, dia pertama kali belajar di Vreeswijk. A P.Ghodon dan Prof. H.C. Milles, seorang guru timur filsafat, sastra, dan budaya di Utrecht, membantunya mendapatkan beasiswa dari Kerajaan Belanda. Dia ditolak oleh parlemen kerajaan karena dianggap melibatkan Kristenisasi dalam pembiayaan pendidikan, tetapi Prof. H.C. Milles berhasil meyakinkan anggota parlemen. Willem akhirnya mendapatkan beasiswa di Sekolah Guru. Ia lulus pada 5 Januari 1859 dan menerima ijazah Guru Bantuan.

Ia melanjutkan pendidikannya ke Belanda untuk kedua kalinya tahun 1874 dan mendapatkan Ijasah Guru Kepala Sekolah. Ia berangkat bersama muridnya, Benas Lubis, dan Mas Ardi Sasmita, Raden Mas Sunarso dari Kwekschool Surakarta. Setelah lulus SMA pada usia 15 tahun, ia diangkat menjadi guru di sekolahnya. Selain itu, ia adalah jurutulis bumiputra (Adjunct inlandsche Sehrijfer) di Kantor Residen Mandailing-Angkola, menggantikan Haji Nawi yang dipecat.

Setelah kembali dari Belanda di Batavia pada tahun 1861, ia mengatakan kepada Gubernur Jenderal Bapak Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet Van Den Balle bahwa dia ingin mendirikan Sekolah Guru di Mandailing. Van Den Bosch, gubernur Pantai Barat Sumatra, penduduk Mandailing-Angkola, kontrolir, dan pejabat daerah disarankan untuk membantu dan mendirikan sekolah tersebut. Willem mendirikan Sekolah Guru (Kweekschool) di Tano Bato secara swadaya pada tahun 1862 dengan dukungan dari pemerintah Belanda dan Kepala-kepala Kampung. Gedung sekolahnya sangat sederhana, dan Tano Bato sekarang berfungsi sebagai Gudang Kopi Pemerintah.

Hindia Barat. Melalui pendidikan di Mandailing-Angkola, khususnya Orientasi Mandailing, Cakrawala, Penalaran, Idealisme, dan Semangat Pembaruan Mandailing, Willem melakukan gerakan pencerahan (Aufklarung) terobosan.

Ia mendirikan sekolah itu pada tahun 1874, dan ia dipindahkan ke Padangsidempuan setelah pergi ke Belanda untuk melanjutkan sekolah untuk mendapatkan gelar Guru Kepala.

Pada 27 Januari 1876, dia menikah dengan Maria Jacoba Christina Winter. Dia menikah selama 103 hari dan tidak memiliki keturunan.[2] Ia meninggal di Amsterdam pada 9 Mei 1876, dan dimakamkan di Zorgvlietbeegrafplaats di Amstelveen, yang terletak di pinggiran kota Amsterdam. Willem Iskander menikah dengan Maria Christina Jacoba Winter, seorang wanita Belanda, pada awal tahun 1876. Perkawinan itu seolah-olah menyempurnakan bencana itu; itu bukanlah perkawinan yang bahagia; sebaliknya, itu adalah sumber kesedihan yang tak terbatas yang dirasakan oleh Willem Iskander.

Dia melakukan bunuh diri pada 8 Mei 1876. Di taman Vondel, Khalff melukis Willem Iskander menembak kepalanya sendiri. Tidak lama sebelumnya, dia menulis kepada Hekker, mengatakan, “Hidup ini sangat berat bagi saya, kesedihan yang saya alami akhir-akhir ini membuat hidup saya tak lama lagi… Dengan menarik pelatuk senjata api saya akan serahkan hidup ini kepada Tuhan…”

Nama Willem Iskander telah diabadikan sebagai beberapa jalan di Mandailing Natal dan Medan, sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) di sana, dan sebuah sanggar seni di Tebet, Jakarta Selatan.